Essay

S.E.T Paradigm: A Tripple Combo To Boost Tax Compliance In Indonesia

Pay your taxes. Al Capone didn’t get busted for all the murders…Like Heidi Fleiss, he was convicted for tax evasion

–Prof. Catherine Lacroix-

Tahukah anda, berapa kali lipat APBN kita telah tumbuh sejak 2004? Lima kali lipat. Ya, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah lima kali lipat APBN kurang lebih kita telah tumbuh sejak tahun 2004 sebesar Rp 427, 2 Triliun hingga tahun 2015 sebesar Rp 1994,8 Triliun Rupiah. Pencapaian yang patut diapresiasi. Porsi peranan pajak sebagai sumber penerimaan negara pun sesuai proyeksi RABPNP 2015 semakin besar mencapai 87% dari penerimaan negara pada tahun 2015. Dua indikator tersebut di atas secara sederhana menggambarkan peran vital pajak bagi keberlangsungan fiskal negara. Namun disisi lain, perpajakan nasional masih menyisakan sejumlah masalah genting. Salah satunya rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak (compliance). Hal ini dibuktikan dengan rasio kepatuhan wajib pajak dalam pelaporan SPT Tahunan pada tahun 2014 hanya mencapai 58,73 % menurun dibanding tahun 2013 yang mencapai 60,80 %. Ditambah lagi tax ratio yang selama satu dekade tekahir hanya di kisaran 11-12 % saja. Target penerimaan pajak pun hanya satu kali tercapai pada tahun 2008. Banyak faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, baik kepatuhan sukarela (voluntarily compliance) maupun kepatuhan terpaksa (enforced compliance). Sebuah studi dari James Alm (2013) menyebutkan bahwa Individu sebagai wajib pajak mempunyai respon yang sangat bervariatif terhadap penerapan suatu sistem kebijakan pajak. Alm menjelaskan suatu sistem kebijakan pajak yang efektif, meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mengurangi penggelapan pajak (tax evasion) haruslah multi-faced dan mengandung tiga paradigma yaitu: Enforcement Paradigm, Service Paradigm, dan Trust Paradigm. Dalam paper ini penulis menamakan tiga pendekatan (tripple combo) tersebut sebagai “SET Paradigm” yaitu Service Paradigm, kemudian Enforcement Paradigm, dan terkahir Trust Paradigm sesuai urutan prioritas eksekusi dan laju impact yang dirasakan dalam sistem perpajakan Indonesia.

Pertama: Service Paradigm. Paradigma yang dibangun disini yaitu peranan otoritas pajak dalam administrasi sistem perpajakan nasional lebih sebagai fasilitator dan melayani wajib pajak (facilitator and service provider). Lingkup pendekatan pertama ini adalah peningkatan dan perbaikan pelayanan dengan menjadi lebih “consumer-friendly”. Adapun hal-hal yang dapat dikerjakan seperti meningkatkan kualitas edukasi kepada wajib pajak, melayani wajib pajak bukan hanya yang akan melakukan pembayaran pajak terutang tetapi juga yang akan melakukan restitusi (tax return), meningkatkan pelayanan konsultasi via telepon (phone advice service), dan layanan pembayaran dan pelaporan via website (Improve tax agency tax). Otoritas Pajak kita pun sejak 2007 boleh dikatakan telah meng-capture pentingnya aspek “pelayanan” atau service paradigm ini dalam meningkatkan kepatuhan yang diharapkan kemudian kepada penerimaan. Hal ini bisa dilihat dalam Renstra DJP tahap awal Tahun periode 2008-2012 termasuk dalam IKU Ultimate Goal organisasi (Tax Payer Satisfaction) setara dengan IKU Penerimaan Pajak Optimal. Sayang saat ini IKU tersebut tidak sebagai ultimate goal lagi. Contoh lain adalah contact center DJP yang berhasil mendapatkan penghargaan tingkat internasional tahun 2013 kategori instituti pemerintahan dan bisa menjaga konsistensi tersebut minimal pada level nasional tahun-tahun belakangan ini.

Kedua: Enforcement Paradigm. Paradigma ini dibangun dengan pendeteksian dan pemberian denda dan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan perpajakan. Adapun hal-hal yang dapat dikerjakan seperti pencabutan izin bisnis atau izin mengemudi, meningkatkan jumlah pemeriksaan secara impresif, meningkatkan kualitas pemeriksaan oleh pemeriksa pajak, meningkatkan pinalti atau denda untuk pelanggaran pajak, adopsi modern information technology untuk audit, dan meningkatkan information-sharing antara instansi pemerintah. Paradigma ini pun telah mulai diberlakukan secara tegas sejak awal tahun 2015. Hal ini terlihat dengan maraknya berita tentang paksa badan (gizjeling). Dadang Suwarna (2015), Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP, dalam Inside Tax edisi 28 tahun 2015 menjelaskan telah dilakukan 9 wajib pajak dengan nilai total utang pajak total 12 milyar rupiah. Dari pelaksanaan penyanderaan tersebut, WP langsung melakukan pembayaran sebesar 7, 28 Miliar Rupiah, sisanya diangsur dengan jaminan dan menunggu proses penjualan aset WP. Sementara itu terdapat 9 WP lagi yang terancam tindak Gijzeling. Tindak gizjeling dalam lingkup encourage paradigm merupakan upaya hard collection yang telah lama terdapat dasar hukum, yaitu Undang-Undang nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan KEP-218/PJ/2003. Namun memang baru pada tahun 2015 gencar dilaksanakan dan cukup efektif membuat wajib pajak menjadikan pembayaran tunggakan pajak menjadi paling prioritas.

Ketiga: Trust Paradigm. Paradigma ini dibangun dengan menunjukkan pentingnya etika dan integritas petugas pajak dan etika wajib pajak dalam perilaku kepatuhan pajak. Paradigma ini sejalan dengan peran moralitas, norma sosial, dan faktor ekonomi perilaku (behavioral economics). Adapun hal-hal yang dapat dikerjakan seperti menekankan hubungan antara pembayaran pajak wajib pajak dengan layanan dan fasilitas yang diberikan pemerintah, mentarget sedari awal perusahaan atau para karyawan dalam rangka mengenalkan pemahaman bahwa membayar pajak adalah “the right thing to do”, mengikutsertakan organisasi lain (selain otoritas pajak) dalam rangka mengkapanyekan pentingnya membayar pajak untuk semakin menguatkan membayar pajak sebagai perilaku etis dan berlaku umum di semua organisasi, menghindari tiap individu berpikir bahwa penggelapan pajak (cheating) hal yang biasa saja dan bukan merupakan masalah besar dengan contoh klasik adalah Tax Amnesty. Danny Darussalam dalam Media Keuangan edisi Maret 2015 menjelaskan untuk negara-negara dengan tingkat kepatuhan relatif rendah, kebijakan Tax Amnesty lebih banyak berhasil. Indonesia dengan tax ratio hanya 12%, dapat digolongkan negara dengan kategori itu. Kebijakan tersebut oleh pemerintah memang diharapkan dapat diterapkan kembali tahun ini. Kemudian OECD dalam Tax Transparancy Progress Report 2014 pun menyebutkan kebijakan Tax Amnesty tersebut sejalan dengan era transparansi perpajakan global yaitu pertukaran informasi perpajakan secara otomatis. Lebih dari 90 negara berkomitmen untuk penerapan standar baru ini dan akan terwujud tahun 2017 atau 2018.

Akhirnya. Ketiga paradigma tersebut di atas dapat ber-impact terhadap kepatuhan wajib pajak yang signifikan baik voluntarily compliance maupun enforced complianced adalah ketika ketiga paradigma di atas dijalankan beriringan dan tidak terlalu menekankan hanya pada satu paradigma saja. Penggambaran dari Kirchel, Hoelzl, dan What (2008) dalam Slippery Slope Framework dapat menggambarkan dengan jelas melalui grafik tiga dimensi (3D) atas hal tersebut. Bahwa kata “licin” (slippery) dipilih untuk menggambarkan bahwa tingkat kepatuhan mudah “terpeleset” ke tingkat lebih rendah sebagai akibat dari interaksi antara enforcement compliance dan voluntarily compliance. Enforcement compliance dicapai dengan enforcement paradigm. Sedangkan Voluntarily compliance dicapai dengan service paradigm dan trust paradigm. Dengan demikian tingkat kepatuhan tinggi dapat terjaga selama kedua jenis kepatuhan itu tinggi. Semoga. DJP bisa. Indonesia Jaya.

Referensi :

  1. Undang-Undang nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
  2. KEP-218/PJ/2003;
  3. Rencana Strategi DJP periode 2008-2012;
  4. James Alm. 2013. Designing Responsible Regulatory Policies To Encourage Tax Compliance. Department of Economic: Tulane University;
  5. Kirchler, Erich, Erik Hoelzl, Ingrid Wahl. 2008. Enforced versus Voluntarily Tax Compliance : The Slippery Slope Framework. Journal of Economic Psycology;
  6. Global Forum on Transparency and Exchange of Information: Tax Transparency Progress Report 2014, http://www.oecd.org/ tax/transparency/GFannualreport2014.pdf ;
  7. Media Keuangan Edisi Maret 2015 halaman 13-15;
  8. Inside Tax edisi 28 tahun 2015 halaman 16-20;
  9. Warta Fiskal Edisi 2 Tahun 2014 halaman 5-9;

Nota Keuangan RAPBN-P 2015;

Leave a comment